GIZI TENTUKAN KUALITAS HIDUP
Dengan hari ini, sudah 56 kali Hari Gizi diperingati, namun Menkes Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) masih merisaukan keadaan gizi masyarakat. Di Indonesia, masalah gizi, khususnya pada balita, menjadi masalah besar karena berkaitan erat dengan indikator kesehatan umum seperti tingginya angka kesakitan serta angka kematian bayi dan balita. Lebih jauh lagi, kerawanan gizi dapat mengancam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang. Tak heran, menilik catatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia masih berada pada peringkat 108 dari 177 negara di dunia.
Menkes mengakui bahwa masalah gizi merupakan salah satu dari masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia. Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok tanah air. Sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Menurut Menkes, ada 3 faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya beli keluarga. Kedua, pola asuhan gizi keluarga yaitu kemampuan keluarga untuk memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) ekslusif dan pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP-ASI (Makanan Pendamping ASI), imunisasi, dan sebagainya.
Sementara Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat (Binkesmas) dr. Sri Astuti. S. Suparmanto, MSc(PH), beberapa waktu lalu menjelaskan, umumnya kasus gizi buruk secara alami terjadi karena kekurangan makanan, ketidak-tahuan, serta penyakit. Gizi buruk bukan hanya masalah kesehatan, melainkan juga masalah daya beli masyarakat. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang menyebabkan masyarakat mengalami kurang gizi.
Secara tak langsung, status gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam keluarga, perilaku atau pola asuh orang tua, serta ditunjang oleh pelayanan kesehatanâ€, demikian disampaikan Direktur Bina Gizi Masyarakat dr. Ina Hernawati, MPH. Hal-hal tersebut secara langsung atau tak langsung disebabkan oleh tingkat sosial ekonomi keluarga, distribusi pangan di suatu daerah atau daya beli keluarga, pendidikan, serta budaya setempat atau keluarga, yang pada akhirnya lebih ditentukan oleh keadaan ekonomi bahkan politik negara.
Masalah gizi berbagai ragamnya dan mencakup sejumlah besar penduduk Indonesia. Ada sekitar 350 ribu dari 4 juta bayi, lahir dengan berat badan rendah (Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR),
• 5 juta dari 18 juta Balita menderita gizi kurang,
• 10 juta dari 31 juta anak usia sekolah menderita anemia gizi,
• 3,5 juta dari 10 juta remana putri mengalami anemia gizi,
• 30 juta dari 118 juta usia produktif mengalami Kurang Energi Kronik (KEK), dan
• 5 juta dari 9 juta USILA mengalami anemia gizi.
Pemerintah sendiri sejak 2 tahun terakhir ini telah memberikan perhatian lebih besar terhadap upaya perbaikan gizi dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat selain lebih mempedulikan kepentingan masyarakat miskin. Upaya peningkatan kesehatan masyarakat didukung dengan menyediakan sarana dan fasilitas kesehatan sehingga mampu menjangkau daerah-daerah yang sulit, mengirim tenaga medis dan bidan ke daerah-daerah sangat terpencil dan menyediakan biaya kesehatan bagi masyarakat miskin.
Untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan gizi buruk, Depkes mendorong dilakukannya gerakan pemberdayaan masyarakat lewat gerakan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Setiap keluarga didorong untuk rutin memantau berat badan, terutama bagi Balita, memberi Air Susu Ibu eksklusif pada bayi 0-6 bulan, mengkonsumsi berbagai ragam makanan, dan mengkonsumsi suplementasi gizi sesuai anjuran. Jika seluruh program berjalan baik, maka sebagaimana Rencana Jangka Menengah Nasional, direncanakan pada tahun 2009 terjadi penurunan jumlah penderita gizi kurang. Untuk mempercepat pencapaiannya, dibentuk Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) di desa siaga yang mendekatkan akses pelayanan ke masyarakat.